KREDIT MACET
Oleh : Muh. Istiqlal Fahma
Disini
saya akan membahas tentang kredit macet. Sebelum membahas lebih lanjut tentang
kredit macet, Kita ketahui dulu apa yang dimaksut dengan kredit. Dapat kita
lihat dalam UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan, disebutkan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan
yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam
untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
A.
PENGERTIAN KREDIT MACET
Dalam
paket kebijakan deregulasi bulan Mei tahun 1993 (PAKMEI 1993), di Indonesia
dikenal dua golongan kredit bank, yaitu kredit lancar dan kredit bermasalah. Di
mana kredit bermasalah digolongkan menjadi tiga, yaitu kredit kurang lancar,
kredit diragukan, dan kredit macet. Kredit macet inilah yang sangat
dikhawatirkan oleh setiap bank, karena akan mengganggu kondisi keuangan bank,
bahkan dapat mengakibatkan berhentinya kegiatan usaha bank.
Kredit
macet atau problem loan adalah kredit yang mengalami kesulitan pelunasan akibat
adanya faktor-faktor atau unsur kesengajaan atau karena kondisi di luar
kemampuan debitur. (Siamat, 1993, hal: 220)
Suatu kredit digolongkan ke dalam kredit macet
bilamana: (Sutojo, 1997, hal: 331)
1.
Tidak dapat memenuhi kriteria kredit
lancar, kredit kurang lancar dan kredit diragukan; atau
2.
Dapat memenuhi kriteria kredit diragukan,
tetapi setelah jangka waktu 21 bulan semenjak masa penggolongan kredit
diragukan, belum terjadi pelunasan pinjaman, atau usaha penyelamatan kredit;
atau
3.
Penyelesaian pembayaran kembali kredit yang
bersangkutan, telah diserahkan kepada pengadilan negeri atau Badan Urusan
Piutang Negara (BUPN), atau telah diajukan permintaan ganti rugi kepada
perusahaan asuransi kredit.
B. Faktor-faktor
Penyebab Munculnya Kredit Bermasalah/Macet
Munculnya
kredit bermasalah termasuk di dalamnya kredit macet, pada dasarnya tidak
terjadi secara tiba-tiba, melainkan melalui suatu proses. Terjadinya kredit
macet dapat disebabkan baik oleh pihak kreditur (bank) maupun debitur.
Faktor-faktor penyebab yang merupakan kesalahan pihak kreditur adalah:
1. Keteledoran
bank mematuhi peraturan pemberian kredit yang telah digariskan;
2. Terlalu mudah
memberikan kredit, yang disebabkan karena tidak ada patokan yang jelas tentang
standar kelayakan permintaan kredit yang diajukan;
3. Konsentrasi
dana kredit pada sekelompok debitur atau sektor usaha yang beresiko tinggi;
4. Kurang
memadainya jumlah eksekutif dan staf bagian kredit yang berpengalaman;
5. Lemahnya
bimbingan dan pengawasan pimpinan kepada para eksekutif dan staf bagian kredit;
6. Jumlah
pemberian kredit yang melampaui batas kemampuan bank;
7. Lemahnya
kemampuan bank mendeteksi kemungkinan timbulnya kredit bermasalah, termasuk
mendeteksi arah perkembangan arus kas (cash flow) debitur lama;
8. Tidak mampu
bersaing, sehingga terpaksa menerima debitur yang kurang bermutu. (Sutojo,
1999, hal: 216)
Sedang
faktor-faktor penyebab kredit macet yang diakibatkan karena kesalahan pihak
debitur antara lain:
1.
Menurunnya kondisi usaha bisnis perusahaan, yang disebabkan
merosotnya kondisi ekonomi umum dan/atau bidang usaha dimana mereka beroperasi;
2.
Adanya salah urus dalam pengelolaan usaha bisnis perusahaan, atau
karena kurang berpengalaman dalam bidang usaha yang mereka tangani;
3.
Problem keluarga, misalnya perceraian, kematian, sakit yang
berkepanjangan, atau pemborosan dana oleh salah satu atau beberapa orang
anggota keluarga debitur;
4.
Kegagalan debitur pada bidang usaha atau perusahaan mereka yang
lain;
5.
Kesulitan likuiditas keuangan yang serius;
6.
Munculnya kejadian di luar kekuasaan debitur, misalnya perang dan
bencana alam;
7.
Watak buruk debitur (yang dari semula memang telah merencanakan
tidak akan mengembalikan kredit). (Sutojo, 1999, hal: 334)[1]
C. Prinsip-prinsip Dalam
Pemberian Kredit
Dalam penilaian kredit, ada prinsip-prinsip
yang harus diperhatikan yaitu prinsip 5C
yang meliputi:
1.
Character
(watak), yaitu bank harus mengetahui bagaimana watak atau kepribadian calon nasabah
dengan mensurvei tempat tinggalnya dan juga menanyakan beberapa hal kepada
orang disekitar tempat tinggal nasabah sebelum memberikan kredit.
2.
Capacity (kemampuan managerial), yaitu
bank mencari informasi mengenai pengelolaan keuangan dalam menjalankan usaha.
3.
Capital
(modal), yaitu untuk mengetahui keseriusan calon nasabah dalam hal kredit.
4.
Collateral
(jaminan/agunan), yaitu untuk memberikan hak prefensi (didahulukan pelunasan
piutangnya). Prinsip ini juga bisa digunakan untuk menuntut, jika nasabah tidak
bisa meneruskan kredit.
5.
Conditional
of economy (kondisi ekonomi), yaitu untuk mengetahui
bagaimana kondisi perekonomiannya, dan juga untuk mempertimbangkan apakah layak
untuk diberikan kredit atau tidak.
D. Contoh Kasus Kredit
Macet
Pada tahun 2011, Direktur PT Siak Raya Timber (Kea Meng Kwang alias Edmond Kea) melakukan
pinjaman kredit di Bank BNI 46 Pusat, Jakarta. Direktur PT SRT mengajukan
kredit sebesar Rp 97 Milyar, karena pada saat itu perusahaan mengalami masalah
pemasokan kayu sebagai bahan baku. Direktur
perusahaan di bidang kayu tersebut menyertakan agunan pabrik PT SRT beserta
barang-barangnya. Pinjaman tersebut dicairkan tahun 2011 sebanyak dua kali
pencairan dengan nomor rekening yang berbeda. Uang pertama dicairkan sebanyak
Rp 48 miliar. Beberapa waktu berikutnya, kembali dicairkan sebanyak Rp 49
miliar. Namun pada tahun 2012, Edmond Kea mulai macet dalam membayar kredit
yang diajukannya itu. Menurut informasi yang dirangkum, Edmond Kea sudah
melarikan diri ke Singapura dan menjadi warga negara
Singapura.
Ketika sudah terjadi kredit
macet, Bank BNI tetap melakukan penagihan, dan meminta PT. SRT untuk menjual
asetnya. Bank BNI juga telah melakukan beragam upaya dalam mengembalikan kredit
PT SRT, baik dengan menjual jaminan produktif hingga jaminan tidak produktif. Tetapi setelah macetnya kredit tersebut, barulah diketahui bahwa
agunan tersebut hanya senilai Rp 5 miliar.[2]
E. Analisis Kasus :
Dapat
dianalisis dengan mengacu pada Peraturan Bank Indonesia tentang BMPK. Sesuai
dengan PBI No.7/3/PBI/2005 Pasal 2 ayat 1 disebutkan bahwa bank wajib
menerapkan prinsip kehati-hatian dan managemen resiko dalam memberikan
Penyediaan Dana, khususnya Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait dan/atau
Penyediaan Dana besar (large exposures). Tetapi dalam kasus diatas, bank dalam
memberikan kredit kurang atau bahkan tidak menggunakan prinsip tersebut. Selain
itu, bank sebelum memberikan kredit, juga harus menerapkan prinsip 5C yang
sudah dipaparkan diatas.
Kredit macet mempunyai
dampak negative bagi kudua belah pihak baik kreditur maupun debitur. Jika
debitur tidak bisa melunasi hutangnya kepada kreditur pada saat jangka waktu
yang telah ditentukan maka bunga akan terus bertambah sampai hutang tersebut
bisa dilunasi dan otomatis hutangnya debitur terhadap kreditur juga bertambah. Karena
Bank disini bersifat Capitalis yaitu mencari keuntungan. Sedangkan
bagi bank, dampaknya lebih serius karena selain dana yang disalurkan untuk
kredit berasal dari masyarakat, kredit macet juga mengakibatkan bank kekurangan
dana sehingga mempengaruhi kegiatan usaha bank. Bank yang terganggu kesehatannya,
akan sulit melayani permintaan nasabah, seperti permohonan kredit, penarikan
tebungan, dan deposito. Keadaan yang demikian akan mempengaruhi kepercayaan
masyarakat terhadap bank hingga manjadi berkurang. Bahkan bukannya tidak
mungkin izin usaha bank dicabut pemerintah dan dilikuidasi.
Dalam
kasus di atas Bank sebelum memberikan kredit, hendaknya bank harus
mensurvei keadaan perusahaan tersebut dan juga mengetahui besar atau nominal
barang yang dijadikan agunan ketika diuangkan. Selain itu, dalam memberikan
kredit juga harus dengan persetujuan Dewan Komisaris Bank. Selain kelalaian
pada pihak bank, nasabah juga telah melanggar ketentuan BMPK. Dalam melakukan
kredit di bank, seharusnya nasabah juga harus mematuhi segala peraturan yang
telah diberikan bank, terutama dalam hal pembayaran kredit. Dari keterangan
kasus diatas, nasabah sudah bisa dianggap melanggar ketentuan-ketentuan BMPK.
Karena sesuai dengan Pasal 27 ayat 3 dijelaskan bahwa Peminjam dianggap
wanprestasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila terjadi tunggakan pokok
dan/atau bunga dan/atau tagihan lainnya selama 90 (sembilan puluh hari).
Sedangkan pada kasus tersebut sudah terjadi tunggakan selama lebih dari 90
hari. Nasabah dan juga bank bisa dikenakan sanksi. Sanksi dalam BMPK ada 2,
yaitu berupa denda dan sanksi administratif.
Pada intinya, bank sebelum memberikan kredit
kepada nasabah, harus benar-benar menerapkan prinsip-prinsip yang sesuai dengan
teorinya. Selain itu, juga harus mengetahui ketentuan-ketentuan BMPK. Hal
tersebut bertujuan untuk menghindari bertambahnya kasus kredit macet di
Indonesia yang menimbulkan kerugian dengan jumlah yang besar.
F. Penyelesaian Kredit
Macet
Dalam menyelesaikan kasus kredit macet, kreditur dapat menempuh dua cara yaitu:
· Penyelamatan
kredit, Yang dimaksud dengan penyelamatan kredit adalah suatu langkah
penyelesaian kredit bermasalah melalui perundingan kembali antara bank sebagai
kreditor dan nasabah peminjam sebagai debitor
· penyelesaian
kredit., penyelesaian kredit adalah suatu langkah penyelesaian kredit
bermasalah melalui lembaga hukum.
Dalam hal penyelesaian kredit bermasalah melalui cara penyelamatan
kredit, bank dapat melakukan pembinaan secara rutin terhadap nasabah/debitur
tersebut, dan bank juga dapat menyertakan/menyampaikan surat peringatan dan
panggilan kepada nasabah serta melakukan pendekatan pada keluarga dan orang tua
nasabah/debitur tersebut. Namun jika usaha ini tidak membuahkan hasil yang
positif, tetapi justru bank mendapati masalah yang lebih serius karena debitur sengaja menghilang yaitu dengan pergi keluar kota. Maka untuk
mencegah kerugian, pihak bank dapat melakukan cara yang ke dua yaitu
penyelesaian kredit melalui lembaga hukum.
Bank dapat melakukan eksekusi terhadap barang yang menjadi agunan
melalui Balai Lelang. Dari hasil lelang tersebut digunakan untuk menutupi
kredit macet tersebut dan apabila masih ada sisa, maka akan bank harus
mengembalikan kepada debitur setelah dikeluarkan untuk seluruh kewajiban hutang
dan bunga. Eksekusi dapat melalui pihak Kantor Lelang Negara atau pengadilan
Negeri. Dalam melakukan eksekusi terhadap barang agunan milik debitur, pihak
bank harus memperhatikan hak-hak dan kedudukan debitur yang terdapat dalam UUHT (Undang-undah Hak Tanggungan).
Jadi untuk menyelesaikan kasus diatas karena debitur menghilang
atau melarikan diri pada saat hutangnya belum terlunasi. Pihak Bank dapat melakukan dengan penyelesaian Kredit, yaitu dengan
melakukan eksekusi terhadap barang yang menjadi agunan melalui Balai Lelang.
Dari hasil lelang tersebut digunakan untuk menutupi kredit macet tersebut dan
apabila masih ada sisa, maka akan bank harus mengembalikan kepada debitur
setelah dikeluarkan untuk seluruh kewajiban hutang dan bunga. Eksekusi dapat
melalui pihak Kantor Lelang Negara atau pengadilan Negeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar