SOLIDARITAS
HUKUM MENURUT EMILE DURKHEIM
Oleh : M.
Istiqlal Fahma
Kali
ini saya akan membahas tentang kebiasaan masyarakat dalam menyikapi suatu
permaslahan dan menentukan hukum. Kebiasaan-kebiasaan atau adat dalam
masyarakat merupakan salah satu acuan dalam membuat hukum (hukum adat). Dimana
hukum itu dibuat oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Nilai-nilai yang
terdapat dalam hukumpun merupakan cerminan daripada nilai-nilai yang ada dalam
masyarakat. Sehingga hukum yang berlaku dipengaruhi oleh kehidupan
masyarakatnya. Norma yang baik dalam masyarakat akan menciptakan hukum yang
baik bagi masyarakat sendiri, begitupun sebaliknya.
Hukum
menurut KBBI adalah peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat,
yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah. Tanpa adanya kekuasaan (kekuatan) maka hukum
tidak akan dipatuhi oleh masyarakat.
Seorang
ahli sosiolog dari Perancis, Emile Durkheim (1858-1917). mengatakan bahwa “Hukum
merupakan cerminan dari solidaritas social”. Durkheim merumuskan hukum
seabagai suatu kaidah yang bersanksi. Berat ringannya senantiasa tergantung
dari sifat pelanggaran, anggapan-anggapan serta keyakinan masyarakat tentang
baik tidaknya suatu tindakan dan peranan sanksi-sanksi tersebut dalam
masyarakat. Kaidah-kaidah hukum yang sanksi-sanksinya mendtangkan penderitaan
bagi mereka yang melanggarnya disebut kaidah represif. Selain kaidah-kaidah
hukum dengan sanksi yang mendatangkan penderitaan bagi mereka yang
melanggarnya, dapat pula dijumapai kaidah-kaidah hukum yang sifat sanksi-sanksinya
berbeda dengan kaidah-kaidah hukum represif. Tujuan utama dari sanksi-sanksi
kaidah hukum jenis kedua ini tidak perlu semata-mata mendatangkan penderitaan
bagi mereka yang melanggarnya, melainkan untuk mengembalikan keadaan pada
situasi semula, sebelum terjadi keguncangan akibat dilanggarnya kaidah hukum
tersebut.
Hubungan
antara solidaritas social dengan hukum yang bersifat represif terletak pada
tingkah laku yang menghasilkan kejahatan. Yang dimaksut dengan kejahatan adalah
tindakan yang tidak di sukai masyarakat
dianggap merugikan dan di tentang oleh masyarakat. Untuk menjelaskan
ini, Durkheim juga menerangkan bahwa setiap hukum tertulis mempunyai tujuan
ganda yaitu menetapkan kewajiban-kewajiban tertentu dan untuk merumuskan
sanksi-sanksinya.
Jadi
contoh kasus yang akan saya bahas disini yaitu pencurian bergilir yang terjadi
di daerah saya Desa Melis, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Trenggalek.
Kejadiannya kira-kira satu tahun yang lalu pas bulan Ramadhan di deket rumah
saya terjadi pencurian bergilir, maksutnya bergilir adalah pencurian di
beberapa rumah pada waktu semalam. Pencurian terjadi pada pukul 12 malam, waktu
itu orang-orang masih tertitidur lelap pada saat itu pula si pencuri melakukan
aksinya, yang pertama dia mencuri di rumah Mas Veri dan berhasil membawa 1
laptop dan 2 hp. Berita pencurian tersebut langsung terdengar kepada masyarakat,
karena pada sesudah pencurian terjadi ada segerombolan anak-anak yang melakukan
ronda terus berteriak-teriak kalo ada pencuri. Masyarakat sekitar situ bangun
langsung antusias untuk mencari pencuri tersebut rame-rame, ada yang membawa
parang, kayu dan benda tajam lainnya, ya mungkin jika pencuri itu ketemu
masyarakat akan menghajarnya masa. Masyarakat terus mencari pencuri tersebut di
sekeliling rumahnya Mas Veri. Tapi si pencuri lebih pintar dari para warga
tersebut, pencuri malah beraksi kembali di rumah Bu Ita yang jaraknya sekitar
500 m dari rumah Mas Veri, dan kembali berhasil kali ini membawa uang sebesar 1
juta rupiah. Masyarakat semakin kesal dan marah-marah. Pak Lurah/Kepala Desa akhirnya melaporkan
kejadian tersebut pada KAPOLSEK Gandusari. Meskipun polisi sudah datang si
pencuri tersebut masih bisa lolos. Dan setelah kejadian tersebut terjadi,
keesokan harinya masyarakat mengadakan penjagaan bergiliran dan di jadwal
setiap harinya. Dalam selang waktu kurang lebih 2 minggu akhirnya si pencuri tersebut tertangkap, tetapi tidak di
desa saya malainkan di desa lain, dalam aksinya kali ini dia mencuri sepeda motor, namun si pencuri tersebut tertangkap dan sempat di hakimi masa yang
kemudian diserahkan pada pihak yang berwajib.
Dari
kasus diatas dapat disimpulkan bahwa masyarakat golongan paguyuban atau
masyarakat pedesaan yang masih mempunyai solidaritas sangat kuat terhadap sesama
masyarakat itu dapat dilihat dari kasus diatas bahwa kesukarelaan para
masyarakat yang barangnya tidak hilang di bawa pencuri untuk mengejar si pelaku pencurian tersebutdan melakukan
penjagaan. Karena dalam masalah ini masyarakat perlu bersolidaritas atas
musibah yang menimpa beberapa warga tersebut. Dalam mewujudkan so;idaritas
mereka dengan cara represif yaitu dengan main hakim sendiri terhadap pelaku
pencurian tersebut, sebelum diserahkan pada pihak yang berwajib masyarakat
melakukan hukum represif terhadap pelaku sebagai sanksi atas pelanggaran yang
di anggap merugikan dan melanggar normaa serta peraturan hukum yang ada di
masyarakat. Solidaritas ini dikatakan solidaritas mekanik dalam masyarakat
paguyuban yang telah dirumuskan oleh Emile Durkheim yang terjadi karena
keakraban dan sering interaksi dalam kehidupam sehari-hari. Solidaritas seperti
ini tidak akan ditemui pada masyarakat patembayan atau perkotaan yang lebih
kepada solidaritas organis, yang menanggapi setiap masalah lebih tenang tanpa
perilaku menyakiti dan merusak, mereka cenderung menerapkan hukum restutif
yaitu hukum dengan cara memulihkan keadaan kembali menjadi aman. Mereka menyerahkan
masalah tersebut kepada pihak yang berwajib untuk menangani masalah yang
terjadi pada masyarakat tersebut. Jadi teori yang di kemukaan oleh Emile
Durheim benar, itu terjadi disekitar kita bahwa disetiap pola interaksi
masyarakat dilingkungan yang berbeda. Tempat dimana kita tinggal termasuk
golongan masyarakat yang bersolidaritas mekanik (kekeluargaan) atau masyarakat
yang bersolidaritas organis (individulis) dengan mementingkan dirinya sendiri
dan tidak peka terhadap lingkungan sekitar.