Selasa, 22 September 2015

SOLIDARITAS HUKUM MENURUT EMILE DURKHEIM



SOLIDARITAS HUKUM MENURUT EMILE DURKHEIM



Oleh : M. Istiqlal Fahma







Kali ini saya akan membahas tentang kebiasaan masyarakat dalam menyikapi suatu permaslahan dan menentukan hukum. Kebiasaan-kebiasaan atau adat dalam masyarakat merupakan salah satu acuan dalam membuat hukum (hukum adat). Dimana hukum itu dibuat oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Nilai-nilai yang terdapat dalam hukumpun merupakan cerminan daripada nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Sehingga hukum yang berlaku dipengaruhi oleh kehidupan masyarakatnya. Norma yang baik dalam masyarakat akan menciptakan hukum yang baik bagi masyarakat sendiri, begitupun sebaliknya.



Hukum menurut KBBI adalah peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah.  Tanpa adanya kekuasaan (kekuatan) maka hukum tidak akan dipatuhi oleh masyarakat.



Seorang ahli sosiolog dari Perancis, Emile Durkheim (1858-1917). mengatakan bahwa “Hukum merupakan cerminan dari solidaritas social”. Durkheim merumuskan hukum seabagai suatu kaidah yang bersanksi. Berat ringannya senantiasa tergantung dari sifat pelanggaran, anggapan-anggapan serta keyakinan masyarakat tentang baik tidaknya suatu tindakan dan peranan sanksi-sanksi tersebut dalam masyarakat. Kaidah-kaidah hukum yang sanksi-sanksinya mendtangkan penderitaan bagi mereka yang melanggarnya disebut kaidah represif. Selain kaidah-kaidah hukum dengan sanksi yang mendatangkan penderitaan bagi mereka yang melanggarnya, dapat pula dijumapai kaidah-kaidah hukum yang sifat sanksi-sanksinya berbeda dengan kaidah-kaidah hukum represif. Tujuan utama dari sanksi-sanksi kaidah hukum jenis kedua ini tidak perlu semata-mata mendatangkan penderitaan bagi mereka yang melanggarnya, melainkan untuk mengembalikan keadaan pada situasi semula, sebelum terjadi keguncangan akibat dilanggarnya kaidah hukum tersebut.



Hubungan antara solidaritas social dengan hukum yang bersifat represif terletak pada tingkah laku yang menghasilkan kejahatan. Yang dimaksut dengan kejahatan adalah tindakan yang tidak di sukai masyarakat  dianggap merugikan dan di tentang oleh masyarakat. Untuk menjelaskan ini, Durkheim juga menerangkan bahwa setiap hukum tertulis mempunyai tujuan ganda yaitu menetapkan kewajiban-kewajiban tertentu dan untuk merumuskan sanksi-sanksinya.



Jadi contoh kasus yang akan saya bahas disini yaitu pencurian bergilir yang terjadi di daerah saya Desa Melis, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Trenggalek. Kejadiannya kira-kira satu tahun yang lalu pas bulan Ramadhan di deket rumah saya terjadi pencurian bergilir, maksutnya bergilir adalah pencurian di beberapa rumah pada waktu semalam. Pencurian terjadi pada pukul 12 malam, waktu itu orang-orang masih tertitidur lelap pada saat itu pula si pencuri melakukan aksinya, yang pertama dia mencuri di rumah Mas Veri dan berhasil membawa 1 laptop dan 2 hp. Berita pencurian tersebut langsung terdengar kepada masyarakat, karena pada sesudah pencurian terjadi ada segerombolan anak-anak yang melakukan ronda terus berteriak-teriak kalo ada pencuri. Masyarakat sekitar situ bangun langsung antusias untuk mencari pencuri tersebut rame-rame, ada yang membawa parang, kayu dan benda tajam lainnya, ya mungkin jika pencuri itu ketemu masyarakat akan menghajarnya masa. Masyarakat terus mencari pencuri tersebut di sekeliling rumahnya Mas Veri. Tapi si pencuri lebih pintar dari para warga tersebut, pencuri malah beraksi kembali di rumah Bu Ita yang jaraknya sekitar 500 m dari rumah Mas Veri, dan kembali berhasil kali ini membawa uang sebesar 1 juta rupiah. Masyarakat semakin kesal dan marah-marah. Pak Lurah/Kepala Desa akhirnya melaporkan kejadian tersebut pada KAPOLSEK Gandusari. Meskipun polisi sudah datang si pencuri tersebut masih bisa lolos. Dan setelah kejadian tersebut terjadi, keesokan harinya masyarakat mengadakan penjagaan bergiliran dan di jadwal setiap harinya. Dalam selang waktu kurang lebih 2 minggu akhirnya si pencuri tersebut tertangkap, tetapi tidak di desa saya malainkan di desa lain, dalam aksinya kali ini dia mencuri sepeda motor, namun si pencuri tersebut tertangkap dan sempat di hakimi masa yang kemudian diserahkan pada pihak yang berwajib.  



Dari kasus diatas dapat disimpulkan bahwa masyarakat golongan paguyuban atau masyarakat pedesaan yang masih mempunyai solidaritas sangat kuat terhadap sesama masyarakat itu dapat dilihat dari kasus diatas bahwa kesukarelaan para masyarakat yang barangnya tidak hilang di bawa pencuri untuk mengejar si pelaku pencurian tersebutdan melakukan penjagaan. Karena dalam masalah ini masyarakat perlu bersolidaritas atas musibah yang menimpa beberapa warga tersebut. Dalam mewujudkan so;idaritas mereka dengan cara represif yaitu dengan main hakim sendiri terhadap pelaku pencurian tersebut, sebelum diserahkan pada pihak yang berwajib masyarakat melakukan hukum represif terhadap pelaku sebagai sanksi atas pelanggaran yang di anggap merugikan dan melanggar normaa serta peraturan hukum yang ada di masyarakat. Solidaritas ini dikatakan solidaritas mekanik dalam masyarakat paguyuban yang telah dirumuskan oleh Emile Durkheim yang terjadi karena keakraban dan sering interaksi dalam kehidupam sehari-hari. Solidaritas seperti ini tidak akan ditemui pada masyarakat patembayan atau perkotaan yang lebih kepada solidaritas organis, yang menanggapi setiap masalah lebih tenang tanpa perilaku menyakiti dan merusak, mereka cenderung menerapkan hukum restutif yaitu hukum dengan cara memulihkan keadaan kembali menjadi aman. Mereka menyerahkan masalah tersebut kepada pihak yang berwajib untuk menangani masalah yang terjadi pada masyarakat tersebut. Jadi teori yang di kemukaan oleh Emile Durheim benar, itu terjadi disekitar kita bahwa disetiap pola interaksi masyarakat dilingkungan yang berbeda. Tempat dimana kita tinggal termasuk golongan masyarakat yang bersolidaritas mekanik (kekeluargaan) atau masyarakat yang bersolidaritas organis (individulis) dengan mementingkan dirinya sendiri dan tidak peka terhadap lingkungan sekitar.




Rabu, 16 September 2015

KASUS SUAP DI LINGKUNGAN MASYARAKAT

KASUS SUAP DI LINGKUNGAN MASYARAKAT
Oleh
Muhammad Istiqlal Fahma

            Dalam masyarakat modern saat ini banyak terjadi kasus-kasus suap yang seakan-akan sudah menjadi tradisi dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan kasus suap tersebut sudah merambah ke dunia politik yang saat ini sudah sering terjadi. Mislanya dalam pemilihan kepala desa (PILKADES) seseorang yang ingin mencalonkan menjadi kepala desa, menyuap masyarakat melalui kader-kader atau orang yang dipercayainya untuk memilih seseorang yang menyuap tersebut. Dan masih banyak kasus suap yang terjadi dan itu salah satunya, yang sekarang sudah menjadi tradisi di masyarakat.

           Dalam pandangan Normatif mengenai hubungan masyarakat dengan hukum positif, kasus suap tersebut harus diserahkan kepada pihak yang berwenang. Tidak hanya orang yang memberi suap melainkan juga orang yang menerima suap. Pernyataan ini dituangkan dalam UU. RI. NO. 11 TAHUN 1980 TENTANG PIDANA SUAP. Yaitu tertulis dalam pasal 2 dan 3.

Pasal 2 yaitu barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya. Yang berlawanan dengan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana dipidana karena memberi suap dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah)

Pasal 3 yaitu barang siapa yang menerima sesuatu atau janji., sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun penjara atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah).

            Dari sudut pandang Emile Durkheim (1858-1917 M) seorang ilmuan sosiolog dari perancis yang mengemukakan hukum adalah cerminan solidaritas social atau kepedulian terhadap orang lain. Dia juga merumuskan ada dua golongan masyarakat dalam menyikapi suatau kejadian. Yang pertama adalah solidaritas Mekanis yaitu solidaritas yang sangat kuat dalam masyarakat paguyuban bersifat homogen (satu jenis). Yang dalam masalah suap ini masyarakat paguyuban ini masih belum tahu hukum yang sebenarnya terjadi jika suap itu termasuk tindakan pidana da nada hukuman jika ada yang melanggarnya.

Yang kedua solidaritas organis adalah solidaritas yang bersifat patembayan (jarang interaksi). Biasanya terjadi dikalangan masyarakat kota. Dalam masalah suap ini masyrakat patembayan tidak mau tahu tentang suap. Karena masyarakat patembayan cenderung bersifat memulihkan keadaan. Jika salah harus di adili secara hukum yang ada.


Jadi dari beberapa sudut pandang tersebut dalam menyikapi masalah suap di masyarakat dapat ditarik kesimpulan, bahwa suap merupakan tindakan pidana yang seharusnya tidak di lakukan karena dapat menjadikan kebiasaan buruk yang akan menjadi kebiasaan dalam masyarakat itu sendiri yang akan merusak kepribadian diri dan bangsa.